Pengunjung Blog Ini

Senin, 31 Desember 2012

Karakter Bangsa Indonesia


Bangsa adalah suatu kelompok manusia yang dianggap memiliki identitas bersama, dan mempunyai kesamaan bahasa, agama, ideologi, budaya, dan/atau sejarah. Mereka umumnya dianggap memiliki asal-usul keturunan yang sama. Konsep bahwa semua manusia dibagi menjadi kelompok-kelompok bangsa ini merupakan salah satu doktrin paling berpengaruh dalam sejarah. Doktrin ini merupakan doktrin etika dan filsafat, dan merupakan awal dari ideologi nasionalisme.
Karakter bangsa; kata yang selalu muncul dan seringkali menjadi penutup diskusi perihal penyebab keterpurukan Bangsa Indonesia di berbagai bidang. Bukan hal baru untuk menyatakan bahwa karakter bangsa kita, ekstrimnya, sedang berada di titik nadir. Saya sangat meyakini bahwa perbaikan karakter bangsa merupakan satu kunci terpenting agar bangsa yang besar jumlah penduduknya ini bisa keluar dari krisis dan menyongsong nasibnya yang baru.
Pergilah ke kantor-kantor yang berurusan dengan pelayanan publik, pasar, hingga jalan raya; dan bandingkan dengan kondisi tempat yang sama di negara maju, anda akan bisa memaklumi puisi Taufik Ismail yang bertajuk Malu (Aku) Menjadi Bangsa Indonesia. Tak perlu gerah dan membuat puisi tandingan, gunakan cermin besar untuk melihat keseharian bangsa kita (yang tentu saja turut menelanjangi diri sendiri). Masih ada, jelas, bagian dari bangsa kita yang berkarakter mulia; hanya sayang, jumlahnya masih minoritas.
Sudah Habis Teori di Gudang; demikian ungkapan Professor Mahfud MD menjawab pertanyaan mahasiswanya tentang teori apa lagi yang bisa digunakan untuk membawa bangsa ini keluar dari krisis (Kompas, 11 Oktober 2005). Bangsa kita memang gudangnya teoritikus, yang nampak garang dan gagah manakala mendiskusikan dan merumuskan sebuah konsep, namun hampir menjadi nihil, bahkan bertotak belakang dalam aplikasinya. Tidak sesuainya kata dan perbuatan, demikian ungkapan dai-dai kondang kita yang berusaha mencari solusi bagi bangsa.
Menjadi lebih menyedihkan lagi manakala kita melihat ke dalam dan menemui bahwa mayoritas komponen bangsa kita mengklaim dirinya sebagai bangsa yang religius. Banyak sudah orang mengatakan bahwa nilai-nilai religiusitas yang diyakini menjadi bagian integral Bangsa Indonesia justru diaplikasikan dalam keseharian oleh bangsa maju yang notabene sekuler. Bangsa kita gagal dalam melakukan internalisasi nilai-nilai luhur yang berasal dari Tuhan menjadi perilaku keseharian. Sedangkan bangsa lain memeras otak mereka dan menghasilkan prinsip hidup yang terealisir. Nilai-nilai luhur bangsa kita jelas lebih unggul, karena berasal dari Tuhan; perlu usaha keras dan luarbiasa untuk melakukan internalisasi. Tidak perlu malu untuk mengakui bahwa sebagian besar lembaga pendidikan kita, baik pendidikan formal ataupun non-formal, umum ataupun keagamaan, belum berhasil melakukan tugas utamanya: internalisasi nilai luhur menjadi perilaku.
Belum terlambat dan insya Allah tidak mustahil mengubah nasib Bangsa Indonesia. Jangan menunggu keajaiban datang dari langit. Seluruh komponen bangsa: Pemerintah, Legislatif, Yudikatif, Militer, Penegak Hukum, Swasta, dan Masyarakat harus bertekad kuat memperbaiki karakter bangsa melalui peran masing-masing. Tidak perlu membuat TAP MPR atau UU Karakter Bangsa – pengalaman menunjukkan bahwa banyak peraturan di bumi pertiwi yang hanya berhenti di lembaran negara.Zero defect harus menjadi prinsip utama seluruh komponen bangsa; baik untuk urusan kecil, seperti membuang sampah, hingga pengamanan harta negara.
Implementasi zero defect memerlukan kepemimpinan yang bersih, kuat, tegas, dan berstamina tinggi. Zero defect tidak mustahil untuk dilaksanakan, karena ini masalah pembiasaan. Zero defect bukan berarti mengingkari kodrat manusia yang memang tidak pernah bisa mencapai kesempurnaan; namun hal tersebut menjadi the ultimate goal yang patut digantungkan di dinding kantor-kantor pemerintahan. Sedikit penyimpangan terhadap zero defect yang masih berada dalam toleransi yang terukur bisa ditolerir dengan catatan adanya tekad bulat untuk kembali menuju ke zero defect.
Karena ini masalah pembiasaan, maka kunci terpentingnya ada di bidang pendidikan. Wajah pendidikan kontemporer kita, sebagai sebuah sistem yang tak bisa lepas dari rembesan nilai-nilai setempat, masih terlihat belum cemerlang. Secara umum, pendidikan di Indonesia belum menghasilkan lulusan berkarakter kuat. Tentu saja, ada di sana-sini pelaku pendidikan, baik individu ataupun lembaga yang berkarakter. Hanya saja jumlahnya masih minoritas