Pengunjung Blog Ini

Senin, 01 April 2013

Kontroversi Hukuman Mati Terhadap Amanat Konstitusi Indonesia


Indonesia merupakan negara yang menerapkan sistem hukum, aturan, prinsip-prinsip serta dasar-dasar, struktur dan  hukumnya, di ambil melalui undang-undang dasar 1945, atau bisa disebut sebagai konstitusi indonesia. Pada umumnya wewenang, kewajiaban pemerintah dalam membentuk suatu tatanan hukum, atau aturan hukum mengenai suatu tindak kejahatan, atau berupa hukuman baik pidana seumur hidup, ataupun pidana mati, di dalam suatu aturan undang-undang haruslah di rancang berdasarkan landaskan undang-undang dasar 1945.
Hukuman mati di indonesia mulai ramai di perdebatkan. Banyak masyarakat serta para pakar atau praktisi hukum beranggapan bahwa, hukuman mati di indonesia bertentangan dengan landasan undang-undang dasar 1945 dan hak asasi manusia. Di dalam undang-undang dasar 1945 dalam pasal 28A mengatakan bahwa Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupanya, Hal ini jelas bertentangan dengan Undang-undang Narkotika dan Teroriosme yang apabila bersalah melakukan tindak kejahatan tersebut maka harus mendapatkan vonis mati sesuai dengan ketentuan pasal yang berlaku dalam undang-undang tersebut. Memang pada dasarnya hanyalah seorang hakim yang berhak memutuskan suatu perkara, dan itupun di jamin dalam konstitusi negara indonesia.
Tetapi kalau melihat kasus-kasus yang telah ada seperti narkoba dan terorisme yang berhak untuk di vonis hukuman mati,  kalau di bahas dan di kaji lebih jauh maka akan banyak menemukan kontroversi. Seperti apa yang di katakan oleh seorang pengamat dari universitas palangkaraya (UNPAR) kalimantan tengah Prof. Dr. Norsanie Darlan menilai, “sebaiknya bandar narkoba yang beroperasi di Indonesia dihukum mati agar memberikan efek jera terhadap yang lain, karena  perbuatan bandar Narkoba ini akan merusak tatanan generasi bangsa, dan wajar jika mereka dihukum mati”, kata Norsanie darlan[1]
Hal ini jelas menunjukan bahwa tindak kejahatan pelaku atau germbong narkoba harus mendapatkan vonis hukuman mati sebab, kalau di lihat dari  undang-undang no. 35 tahun 2009 tentang narkotika. Tindak pelaku kejahatan ini haruslah di hukum mati, sebab tindak kejahatan ini di katakan sebagai ordiynari crime atau kejahatan luar biasa yang menimbulkan kerugian bagi orang banyak atau banyak generasi bangsa yang di rugikan dari tindak pelaku kejahatan ini.
Dan tindak kejahatan lainya yang mendapatkan vonis mati di indonesia yaitu terorisme, terorisme jika di lakukan oleh beberapa oknum anggota komplotan teroris atau jaringan kelompok yang seperti  ada di indonesia dan di lakukan, maka akan menimbulkan banyak korban jiwa, hal ini juga menunjukan bahwa tindak pelaku terorisme merupakan tindak kejahatan berat yang merugikan banyak masyarakat.
Kalau kita melihat dari kedua tindak kejahatan ini maka hanya narkotika dan terorisme sajalah yang bisa mendapatkan vonis hukuman mati,  sebab dari keduanyalah tindak kejahatan yang dapat banyak menimbulkan kerugian bagi orang banyak. Tetapi hal ini banyak di perbincangkan oleh masyarakat, konstitusi kita tidak beribicara seperti ini, setiap manusia memiliki hak untuk hidup, tapi kita harus berfikir rasional terhadap kesalahan yang telah di buat
Pakar ilmu perundang-undangan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Maria Farida, berpendapat bahwa “penerapan hukuman mati sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada satu pun ketentuan dalam UUD 1945 hasil amandemen yang meniadakan hukuman mati, Kalau dia sudah membunuh seseorang, dia sudah mengedarkan narkotika, dan itu berakibat yang lebih banyak kepada orang lain, apakah dia layak di dalam negara yang sesuai dengan Pancasila? Jadi, batasan itu tetap, walaupun di sini hak untuk tidak disiksa dan sebagainya. Tapi, hak ini bisa dibatasi kalau itu (diatur) dalam undang-undang”.[2]
Tetapi berbeda halnya dengan pendapaat dari mantan ketua mahkamah konstitusi Jimly Asshiddiqie beliau berpendapat “ Bahwa suatu kasus dapat di ganjar dengan pidana penjara saja kalau bukan pidana materi itu boleh saja, Tapi dia tidak boleh menilai bahwa pidana mati itu bertentangan dengan HAM atau dengan konstitusi yang merupakan ranah kompetensi hakim mahkamah konstitusi”.[3]
Jelas bahwa banyak kontroversi yang terjadi di kalangan masyarakat mengenai hukuman mati ini, yang kaitanya dengan konstitusi kita, banyak pertimbangan-pertimbangan yang muncul dari berbagai statmen dalam masyarakat, sehinggan banyak menimbulkan pro dan kontra.
Banyak reaksi dari masyarakat terhadap vonis hukuman mati ini, yang banyak dari mereka mengatakan bahwa hukuman mati harus benar-benar di jalankan oleh setiap pelanggaran yang berkaitan dengan merugikan orang banyak, sebab jika tidak di jalankan hukuman mati ini maka, semakin banyak orang-orang yang membuat tindak kejahatan tanpa mengenal, berat atau tindaknya tindak suatu kejahatan tersebut.
Seperti yang di tuturkan oleh Marzuki ia berpendapat “ bahwa hukuman mati harus benar-benar di jalankan, sebab jika tidak ada hukuman mati atau di ganti dengan hukuman yang lainya, berarti mereka masih bisa melakukan kesalahan yang sama di lain kesempatan, menurut penuturanya kejahatan-kejahatan besar di indonesia ini  harus benar-benar ada hukuman matinya, seperti narkoba, terorisme dan korupsi.[4]
Tetapi tidak sedikit pula masyarakat yang tidak setuju dengan adanya hukuman mati ini, di dalam konstitusi kita di atur bahwa setiap hak warga negara, yaitu hak untuk hidup harus dapat di tegakan, di dalam undang-undang dasar kita telah di atur seperti itu. Buat apa kita di hukum mati toh kalaupun tidak di hukum mati, kita bakalan mati juga, setiap seseorang yang di lahirkan pasti memiliki hak dan kewajiban, hak untuk hidup dan menjalankan kewajiban berupa menaati peraturan yang telah di buat.  Jelas jika dalam UUD  kita pasal 28A mengatakan seperti itu.
Pro dan kontra di kalangan masyarakat mengenai layak atau tidaknya pelaksanaan hukuman mati ini, yang berlatar belakang pada keberadaan undang-undang dasar kita ini. Perlu di pertegas kembali apakah peraturan-peraturan yang selama ini di buat, apa benar-benar sudah berdasarkan konstitusi negara kita, yang berdasarkan pada undang-undang dasar 1945.
            Sebab jika masih seperti ini masih banyak akan menimbulkan lebih banyak kontroversi lagi di kalangan masyarakat, baik warga maupun para praktisi hukum. Pemerintah dalm hal ini, dalam membuat suatu kebijakan-kebijakan mengenai peraturan perundang-undangan haruslah bisa menyaring berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang berlaku.
            Kebeeradaan  undang –undang dasar 1945 di dalam tatanan hukum di indonesia harus lah di kaitkan dari semua aspek-aspek yang ada, dalam peraturan perundang-undangan yang telah di buat, baik yang mengatur tindak pidana pembunuhan, narkoba, terorisme, korupsi, dan lain-lain harus berpacu pada undang-undang dasar 1945. Karena undang-undang dasar 1945 di indonesia kalau kita ibaratkan sebagai pedoman dasar untuk membuat suatu aturan hukum di indonesia.
            Pada hakikatnya keberadaan konstitusi kita ini haruslah seimbang, dengan tatanan atau aturan hukum yang telah di buat, kalaupun ada pertentangan atau hal yang bertolak belakang mengenai peraturan perundang-undangan tersebut, harus ada penilaian undang-undang yang tegas yang di lakukan oleh pihak-pihak terkait, seperti mahkamah konstitusi, harus benar-benar di kaji bahwa peraturan perundang-undangan yang di buat harus se arah dengan konstitusi kita
            Jadi dapat di ambil gambaran mengenai kontroversi hukuman mati terhadap konstitusi kita ini, dari polemik yang timbul di berbagai kalangan baik masyarakat atau para ahli hukum antara yang setuju dan tidak setuju bahwasanya. Harus banyak pertimbangn-pertimbangan hal-hal yang patut di kaji ulang mengenai peraturan perundang-undangan kita harus berasaskan undang-undang dasar 1945.
Sehingga mau tidak mau keberadaan undang-undang dasar kita harus dapat kita rasakan bersama keberadaanya, sehingga dapat di jadikan sebagai pedoman sebagai tatanan hidup untuk masyarakat yang taat akan hukum dan kebijakan-kebijakan serta wewenang yang di buat oleh pemerintah.
Tidak seperti saat ini yang keberadaanya belum kita rasakan bersama, karena masih banyak polemik atau perbedaan pandangan yang terjadi sehingga masih belum terciptanya ketaatan hukum di kalangan masyarakat kita. Masyarkat belum merasakan atau mendapat keadilan yang se adil-adilnya, masyarakat masih banyak yang di beratkan atas peraturan-peraturan yang ada untuk menjalankan kehidupan yang lebih adil, makmur dan sejahtera.


[1] Prof. Dr Norsanie darlan, dalam keterangannya di kantor berita antara, jumaat 14 Sep 2012, Pkl 13.00 Wib
[2]  www.hukumonline.com jumat 21 februari 2003
[3]  www.detik.com 21 september 2012
[4] Marzuki, warga cipete, kecamatan kebayoran baru, jakarta selatan, pada hari senin 19 November 2012